Tuesday 21 April 2009

Selamat Hari Kartini !

Salam sejahtera saudariku terkasih,

Tahun ini perayaan Hari Kartini atau harinya Wanita Indonesia tepat berada di tengah kemelut krisis ekonomi global, semua orang jadi dibuat panik, cemas dan takut melihat dan bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja yang terjadi terjadi disana-sini, harga bahan-bahan pokok tetap tinggi walau BBM sudah turun sejak beberapa bulan lalu.

Ditambah suasana politik negara kita yang sedang panas, dan dibumbui dengan isu-isu kecurangan, penyelewengan proses dan penyelenggaraan Pemilu Legislatif silam, sampai rencana boikot beberapa calon Presiden dari partai yang kalah, pada Pemilu Presiden mendatang.

Bayangkan, betapa rumitnya kondisi negara kita saat ini. Padahal, dilain sisi, mall-mall megah, supermarket, mini market tumbuh subur dan berkembang, tapi petani dan pedagang pasar tidak terbantu, malah semakin nelangsa. Lahan baru dibukan untuk pembangunan apartemen dan perumahan baru; walau lebih memilih untuk tidak memperbanyak membangun taman kota yang hijau dan asri; tapi tetap saja banyak masyarakat yang masih tinggal di rumah tidak layak huni dan tidak sehat. Jenis-jenis makanan baru diproduksi lebih banyak, tapi masih banyak saja orang yang kelaparan, bahkan sampai mati. Kekayaan materi lebih diutamakan dari sebelumnya, akan tetapi jurang antara kaya dan miskin masih saja ada dan semakin lebar.

Apakah Bumi atau dunia sudah mendekati akhirnya ? Masihkan kita bisa menyelamatkannya ?

Sebagai perempuan, ada kekuatan besar yang tidak kita sadari untuk mengendalikan kemana arah dunia ini akan berakhir. Bagaimana kekuatan domestik dari keluarga sebagai lingkungan/komunitas terkecil di dunia ini, bisa membuat perubahan yang berarti dan besar dalam kehidupan di dunia ini. Kita yang selalu mempunyai daftar protes panjang terhadap kondisi dunia, justru mempunyai kekuatan terbesar dalam mengubahnya. Saat kita merasa kekurangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?

Simak tulisan Dewi Lestari pada Majalah Berita Mingguan Tempo bulan Desember 2006 silam, dibawah ini. Saya rasa, isinya bisa menggugah dan merubah pola berpikir kita, untuk menjadi lebih bijak dalam menentukan pilihan kita sebagai perempuan yang ternyata mempunyai kekuatan untuk membangun, menjaga, dan menyayangi.

Selamat Hari Kartini saudariku terkasih !


IBU RUMAH TANGGA, LOKOMOTIF PERUBAHAN


Dewi Lestari

Hidup dalam era keluh kesah bukan hal yang mudah. Saat semua yang membombardir kita adalah berita buruk, kritik, hujatan, atau justru berita dangkal, takhayul, dan dongeng hitam-putih. Pemberdayaan, keceriaan, dan persahabatan, menjadi barang langka saat mata uang yang laku adalah derita. Kita menanti tangan raksasa, pemerintah atau pemimpin impian, untuk membebaskan kita dari jerat kemelut. Penantian panjang yang lambat laun bermutasi menjadi budaya sistemik akhirnya secara nyata mengambil kendali dari tangan kita, menjadikan kita si pengeluh-pemimpi-tak berdaya.

Bila diamati, perubahan yang kebanyakan dari kita inginkan bermuara pada hal-hal yang terdengar mendasar, bahkan naif, yakni: damai, bahagia, sehat. Baik yang paling miskin dan yang paling kaya mengaku sama-sama mendamba tiga hal tersebut. Namun seringkali kata-kata itu terjerat pada level konsep, terkubur jauh dalam lapisan artifisial, dan terpoles glazur tebal hingga kita akrab mendengar tapi jarang, bahkan tak pernah merasakannya. Entah kita tak tahu caranya, atau kita tak serius menginginkannya.

Beberapa data menarik dari ECOSOC pada tahun 1998 mengungkap bahwa dana pendidikan yang dialokasikan seluruh pemerintah dunia sejumlah US$ 6 miliar. Angka ini kalah dibanding penjualan parfum di Eropa yang mencapai US$ 8 miliar. Pengeluaran untuk air dan sanitasi seluruh umat dunia sejumlah 9 miliar USD, lebih kecil ketimbang penjualan es krim di Eropa yang sampai 11 miliar dolar Amerika. Lalu, pakan binatang peliharaan di Amerika dan Eropa (17 miliar USD) ternyata lebih mahal dibanding dana kesehatan seluruh pemerintah di dunia yang cuma 13 miliar USD. Bandingkan lagi dengan perdagangan narkoba di dunia yang mencapai 400 miliar dolar Amerika, juga dana militer dunia yang menyedot 780 miliar dolar Amerika.

Di Indonesia, kebanyakan nelayan tidak berperahu, sementara segelintir rakyatnya berkesempatan mengoleksi mobil sejumlah lebih dari yang dibutuhkan. Anak-anak Indonesia hanya 46,8% saja yang dapat menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, sementara segelintir rakyatnya dapat mengoleksi busana dan aksesoris dengan dana yang mampu mengantar satu anak sekolah hingga tamat lulus S1.

Inilah cermin yang merefleksikan prioritas kita. Inilah kondisi global yang menjadi tantangan bagi semua umat dunia. Disparitas yang diungkap di atas bukan lagi barang baru. Kita paham konsep kesenjangan sosial, kita melihatnya setiap hari hingga lama-lama mata kita terbiasa. Kita paham bahwa jika itu terus dibiarkan, akan ada polaritas ekstrem yang otomatis menimbulkan friksi, perpecahan, dan segala hal yang berusaha kita hindari. Lalu, kita bungkus lamunan utopis kita tentang perdamaian dan keadilan dunia dalam indahnya melodi, lirik lagu, puisi, tapi tidak pernah kita benar-benar berusaha mewujudkannya. Inilah titik tolak untuk sama-sama mengevaluasi pilihan-pilihan hidup kita, dan merenungi: adakah kita miliki kekuatan itu?

Seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir mengatakan “yang personal adalah politis”. Jika masyarakat terbius dengan konsep bahwa lokomotif perubahan haruslah pemerintah, lembaga besar, atau perusahaan multinasional raksasa, maka perubahan akan mengikuti gaya birokrat yang lambat, atau gaya korporat yang melulu beragendakan profit. Seorang walikota di Jawa Tengah pernah mengeluhkan tentang birokrasi yang menghambatnya untuk berinvestasi pada sistem pengolahan sampah kota. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan tahunan untuk ide bergulir sampai jadi realitas. Sementara seorang ibu rumah tangga dengan hitungan jam dapat langsung mengubah sistem pengolahan sampah di rumahnya dengan membuat kompos sendiri.

Satu contoh besar pernah dilakukan oleh mantan presiden Chekoslovakia, Vaclav Havel. Dia pernah memimpin bangsanya melewati masa krisis akibat sistem yang tak adil lewat gerakan pembangkangan bermodalkan kemanusiaan. Pengalamannya membuktikan bahwa dorongan politik lebih efektif jika datang dari ibu rumah tangga, pekerja biasa, filsuf, penulis, dokter, dan seterusnya, ketimbang dari para politisi. Hal itu dimungkinkan justru karena masyarakat biasa tidak terikat pada pemikiran politik konvensional.

Gerakan ‘chipko’ atau ‘tree-huggers’ yang dipelopori oleh para perempuan pada tahun 1980-an pernah menyelamatkan ribuan pohon di Himalaya. Mereka menunjukkan perlawanannya dengan memeluk pohon-pohon yang akan ditebang. Ada juga Vandana Shiva, seorang ahli fisika dan feminis India, yang berhasil melawan pertanian eksploitatif korporasi dengan menggerakkan petani untuk kembali ke praktek pertanian yang bersahabat dengan bumi. Kasus makanan berformalin terakselerasi begitu ibu-ibu rumah tangga stop membeli, lalu pedagang panik, pasar panik, dan akhirnya regulasi formalin mulai dikaji lebih serius.

Kelumit-kelumit realitas tadi dapat mengubah posisi gerbong kereta perubahan. Lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput.

Kita memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya. Jika kita resah dengan krisis ekologi dan hutan tropis kita yang tak habis-habis dirambahi, tanamlah setidaknya satu pohon baru di pekarangan. Pemerintah mungkin akan butuh tahunan untuk mengadakan sepuluh juta pohon sekaligus, tapi rakyatnya dapat berbuat sama dalam waktu singkat. Jika kita resah dengan masalah sampah yang bikin banjir, olahlah sampah rumah tangga mulai besok. Jika kita muak dengan informasi dan hiburan yang tidak mendidik, matikan teve dan hanya tonton yang betul-betul perlu. Jika ingin rakyat cerdas, korbankan satu kebutuhan tersier kita untuk menjadi biaya sekolah satu anak asuh. Jika kita benci korupsi, hentikan segala perbuatan curang di rumah. Jika kita benci perang, stop dan cegah kekerasan di rumah.

Tanpa sepenuhnya disadari, kekuatan untuk mengubah wajah dunia ternyata ada di rumah kita. Keputusan kita untuk memilih makanan, minuman, tempat belanja, prioritas keuangan, dan seterusnya, adalah keputusan politis yang bisa menentukan jutaan nasib manusia. Keputusan kita untuk memilih antara beras impor atau beras lokal, buah impor atau buah lokal, dapat menyelamatkan pendapatan para petani Indonesia. Keputusan kita untuk memilih satu lagi tas bermerk untuk menemani sepuluh tas yang ada atau mendonasikan uang untuk biaya sekolah satu anak, akan membawa perbedaan besar.

Tantangan paling besar tentunya adalah keinginan melihat efek yang instan dari tindakan kita. Juga skeptisisme bahwa hal kecil yang kita lakukan betul-betul punya dampak. Begitu pula sikap eskapis yang menggoda kita untuk ‘membuang’ kendali itu dengan misalnya berkata ‘tidak semua ibu punya kapasitas berpikir yang sama jadi lupakan saja. Dan, lagi-lagi pemberdayaan itu kabur dari tangan kita.

Tidak ada lagi saat yang paling tepat untuk para ibu mengambil peran sebagai lokomotif perubahan dan penjaga kehidupan. Saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?

Selama kita sungguh-sungguh menginginkan perubahan itu terwujud, bukan hanya sebatas gincu di mulut, selamanya pula saya memilih yang kedua. l

No comments: