Sunday, 22 February 2009

21 Februari ...Hari Bahasa Ibu Internasional

Selamatkan Bahasa Jawa!

Mungkin ada di antara pembaca budiman yang lupa, 21 Februari adalah Hari Bahasa Ibu Internasional. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization sebagai badan pendidikan, sains, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mencanangkan hari bersejarah tersebut sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap hari gerakan bahasa yang dirayakan di Bangladesh.

Simbol gerakan bahasa itu sendiri telah dituangkan dalam wujud monumen di Bangladesh, yang dikenal dengan Monumen Martir atau Shaheed Minar di Kampus Universitas Dhaka. Kehadiran monumen itu dimaksudkan untuk mengenang pengorbanan bahasa Bangla pada 21 Februari 1952. Jadi, pada 21 Februari 2009 nanti, Hari Bahasa Ibu Internasional itu bakal genap diperingati satu dasawarsa.

Bahasa ibu acap dipersamakan dengan bahasa daerah, terlebih- lebih dalam masyarakat multilingual dan diglosik seperti Indonesia, dengan pembedaan peran di antara bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah.

Karena bahasa Jawa juga bahasa ibu, perhatian besar mutlak harus diberikan. Hal ini mengingat angka laju kepunahan bahasa Jawa tergolong tinggi. Pakar dari Pusat Bahasa Jakarta pernah menyebutkan, angka laju kepunahan bahasa Jawa adalah 4,1 persen. Angka kepunahan ini jauh lebih tinggi daripada bahasa Bali yang hanya 2,1 persen.

Dengan memerhatikan angka laju kepunahan di atas, sebagai linguis saya menegaskan, mutlak harus segera dibangun upaya superkonkret untuk menyelamatkan bahasa Jawa.

Atau setidaknya, dibangun upaya yang jelas untuk selekas mungkin membalikkan arah dinamika bahasa Jawa yang melungker itu. Dengan pembalikan arah dinamika demikian ini, laju kepunahan bahasa Jawa dipastikan bakal dapat diperlambat. Syukur-syukur, kalau malahan akhirnya dapat dihentikan. Ini bakal menjadi prestasi gemilang!

Kesadaran kolektif

Pengandaiannya satu saja, yakni mutlak harus dibangun kesadaran kolektif. Baik kepada masyarakat, pemangku jabatan di lingkungan pemprov dan pemda serta institusi lain, para guru dan dosen, dan semua goal keepers yang peduli pada pemertahanan bahasa Jawa (Javanese language defence).

Keluarga-keluarga Jawa harus menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian dalam ranah kekeluargaan dengan penuh kesadaran. Juga, dalam domain kekerabatan Jawa dengan sesama warga yang masih mampu berbahasa Jawa. Artinya pula, bahasa Jawa harus dijaga ketat pemakaian dalam ranah-ranah yang masih memungkinkan digunakan untuk peranti pemertahanan bahasa Jawa.

Dalam ranah pendidikan, di tataran prasekolah play group, juga di TK-TK, di SD-SD kelas I sampai kelas III, sebagai linguis saya mengingatkan, supaya jangan buru-buru dikenalkan bahasa selain bahasa ibu. Sebab, dengan disingkirkannya bahasa ibu untuk pengajaran pada tahun-tahun awal pendidikan, secara teoretis- linguistis, bakal mengganggu penguasaan bahasa pada tahapan pendidikan selanjutnya.

Demikian pula bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dan Mandarin, yang kini sudah banyak diajarkan di sekolah-sekolah dasar sejak tingkatan sangat awal, beberapa malahan sejak di play group dan/atau TK. Kiranya mutlak harus diketahui oleh para pedagog, para perancang kurikulum dan materi pemelajaran, bahwa fakta ini sesungguhnya dapat menghambat proses belajar bahasa pada tahapan selanjutnya.

Maka, jangan heran kalau sekarang banyak sekali anak, bahkan mahasiswa, juga orang tua yang mogol penguasaan bahasa-bahasanya. Penguasaan bahasa daerahnya mogol, penguasaan bahasa Indonesianya juga mogol, penguasaan bahasa Inggrisnya jebol. Jadi, jangan kita terlalu terpesona, tergiur, nggumun dengan pesona-pesona global mondial, hingga lupa dengan bahasa ibu sendiri.

Dalam tataran pemerintahan, kita harus mengacungkan jempol kepada sejumlah pemda, baik provinsi, kabupaten, maupun kota, juga instansi-instansi lain, yang berani mengambil kebijakan lokal untuk memakai bahasa Jawa pada hari-hari tertentu bagi para pegawainya. Juga dalam pelayanan-pelayanan publiknya.

Seiring dengan kewenangan pemda yang makin besar terkait implementasi undang-undang pemerintahan daerah yang juga dikenal dengan undang-undang otonomi daerah, fakta emas ini sesungguhnya harus berdampak langsung pada pemertahanan bahasa Jawa. Demikian pula dengan raperda-raperda, seharusnya menempatkan sikap yang sungguh positif terhadap angka laju kepunahan bahasa Jawa yang besarannya sudah mencapai 4,1 persen tersebut.

Sayang bahwa dalam rumusan rancangan raperda jangka menengah DIY 2009-2013 yang beberapa waktu silam diedarkan kepada publik lewat media, mungkin juga yang di Jateng, saya tidak menangkap hadirnya sikap sangat tegas itu dalam wujud kebijakan strategis yang konkret terhadap bahasa Jawa.

Dengan perkataan lain, bahasa Jawa yang berjati diri sebagai bahasa ibu bagi sebagian terbesar warga masyarakat Yogyakarta dan sekelilingnya, sepertinya justru dibiarkan makin merana. Saya harus menegaskan, sama sekali tidaklah cukup pemertahanan bahasa Jawa hanya berhenti pada pemakaian aksara Jawa yang jelas-jelas berdimensi ortografis itu.

Maka pertanyaan mendasarnya lalu, sungguhkah kita yang "masih Jawa" ini rela membiarkan bahasa Jawa mati di lumbung sendiri? Sungguhkah tidak ada upaya superkonkret untuk membalikkan arus kepunahan bahasa Jawa? Mohon dengan segala hormat, sinyalemen kebahasajawaan yang sangat mengkhawatirkan ini benar-benar disikapi dan direfleksikan dalam-dalam! Ayo segera selamatkan bahasa Jawa!


SUMBER : KOMPAS CETAK 21 Februari 2009

Oleh: R Kunjana Rahardi

Pakar Bahasa, Konsultan Bahasa Media di Jakarta Dosen Akademi Sekretari dan Manajemen Marsudirini Santa Maria, Yogyakarta

No comments: