Tuesday, 17 March 2009

Hari Perempuan Internasional

Ita F.Nadia (Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)


Di kalangan gerakan perempuan internasional, 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan International. Penentuannya berawal dari tahun 1908 ketika menjawab tuntutan kaum perempuan, Partai Sosialis Amerika Serikat mengusulkan hari terakhir bulan Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik (hak untuk memilih dalam pemilihan umum) kaum perempuan. Hari Perempuan Amerika ini (28 Februari 1908) mendapat perhatian sangat besar dari kaum feminis dan sosialis seluruh dunia dan mendorong aksi solidaritas yang terorganisasi oleh berbagai kelompok buruh perempuan Amerika Serikat.

Di tahun 1910,pada konferensi kedua perempuan sosialis sedunia di kota Kopenhagen, Clara Zetkin, seorang aktifis gerakan perempuan dan tokoh sosialis, menentang sikap separatis dari gerakan perempuan suffragist (menuntut hak pilih dalam pemilihan umum) mengajukan usul untuk menginternasionalkan eksperimen Amerika itu dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dengan slogan "hak pilih untuk semua orang".

Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks pasang naik gerakan perempuan di seluruh dunia pada awal abad ini (di Indonesia muncul Kartini dengan pemikiran dan aksinya). Saat itu kaum perempuan sudah terorganisasi dan gerakannya meluas di Eropa dan Amerika yang tercermin dari terbentuknya International Women Suffrage Alliance (1904). Awal abad ini marak dengan diorganisasikannya protes , demonstrasi, pemogokan buruh, dan kampanye persamaan hak dan menentang penindasan terhadap buruh perempuan. Bangkitnya perempuan sebgai buruh yang tertindas merupakan buah dari perubahan sosial itu sendiri, berkembangnya modal dimana sesungguhnya buruh merupakan penggerak perkembangan yang sekaligus dihisap olehnya.

Usul Clara Zetkin terwujud pada tahun 1911, saat pecahnya perang dunia pertama, 8 Maret dirayakan dengan pawai dan demonstrasi perempuan di berbagai negara Eropa. Dan ketika Revolusi Rusia dimulai, hari perempuan internasional ditandai dengan demonstrasi-demonstrasi massa dan protes menuntut bahan makanan, yang dilancarkan oleh kaum perempuan , laki-laki dan anak-anak.

Di Inggris, hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sesudah perang dunia kedua. Di Amerika, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian anti perang pada tahun 1960an, yang terus berkembang dan meluas.

Setelah tahun 1975, PBB menetapkan sebagai tahun internasional perempuan, yang kemudian pada tahun 1976 hingga 1985 ditetapkan sebagai "Dasa Warsa Perempuan". Sesungguhnya pada tahun 1977, Majelis Umum PBB menerima resolusi yang menetapkan suatu hari internasional untuk perempuan. PBB mengajak semua negara anggota untuk memproklamasikan suatu hari sebagai Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia, yang penetapan harinya diserahkan pada masing-masing negara. Kebanyakan negara (tidak termasuk Indonesia) menetapkan 8 Maret , yang memang sudah dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional. PBB sendiri pada tahun 1978 menetapkan tanggal 8 Maret dalam daftar hari libur resmi.

Persoalan Perempuan

Kesadaran mengenai ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural dari penindasan tersebut sudah lama muncul di Indonesia. Pada awal abad ini, seiring dengan munculnya kesadaran baru mengenai kolonialisme, muncul seorang pelopor, R.A.Kartini, seorang puteri bupati Jawa yang melalui tulisan-tulisannya menentang keras poligini, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dan dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan.

Kemudian muncul banyak perempuan yang dengan membawa serta kesadarannya tentang ketertindasan kaum perempuan, aktif dalam politik pergerakan nasional. Misalnya Munasiah dan Sukaesih, dua aktivis politik yang dalam suatu konggres perempuan di Semarang tahun 1924 menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang agar bisa memajukan hak-haknya dan agar tidak disisihkan. Munasiah berkata:" Wanita itu menjadi mataharinya rumah tangga, itu dahulu! Tapi sekarang wanita menjadi alat kapitalis. Padahal jaman Mojopahit wanita sudah berjuang.. Sekarang adanya pelacur itu bukan salahnya wanita, tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme."

Setelah pecah pemberontakan nasional pertama menentang kolonialisme 1926-1927, kedua pejuang ini ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul, Papua Barat, karena terlibat pemberontakan. Kesadaran baru di kalangan perempuan indonesia akan penindasan kolonialisme dan imperialisme, dengan berbagai bentuknya terus bergerak dan meluas sampai Indonesia merdeka. Pada masa revolusi, berdiri berbegai macam organisasi perempuan, termasuk partai politik khusus perempuan ( Partai politik Wanita, didirikan oleh Nyi Sarmidi Mangunsarkoro; S.K.Trimurti menentang pembentukan partai ini dan mengusulkan agar perempuan bergabung dengan partai politik yang ada, tidak perlu membentuk partai sendiri).Kaum perempuan tidak hanya aktif di garis belakang sebagai anggota palang merah atau petugas dapur umum. Mereka juga menjadi anggota satuan-satuan laskar maupun tentara reguler yang aktif bertempur di front (garis depan) melawan tentara penjajah yang hendak kembali menjajah Indonesia. Inilah yang "dikritik" oleh lagu patriotik yang patriarkhis, " Melati di tapal Batas", yang hendak mengerangkeng perempuan dalam tirani domestik.

Pada masa revolusi itu pula organisasi-organisasi perempuan seperti PERWARI,Wanita Indonesia,Pemuda Putri Indonesia, Aisyiah, GERWIS (Gerakan Wanita Sedar) dan sebagainya membentuk federasi organisasi perempuan (bukan wadah tunggal perempuan) yang diberi nama KOWANI (Konggres Wanita Indonesia). Meskipun persoalan utama bangsa kita saat itu adalah perjuangan mengusir penjajah, gerakan sosial politik tidak didominasi oleh pandangan nasionalisme sempit yang chauvinistik atau malah xenophobic. Watak internasionalis dilambangkan dalam Mukadimah UUD 1945 : "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa..."

KOWANI sendiri pada masa itu terlihat sangat sadar mengenai tempat, peran dan tanggungjawabnya sebagai warga dunia. Dalam pernyataan-pernyataannya dikemukakan seruan-seruan untuk ikut menegakkan perdamaian dunia.

Sebagian dari organisasi-organisasi perempuan menyadari bahwa penindasan perempuan, dan oleh karena itu perjuangan kaum perempuan, bukan terbatas di Indonesia saja. Di negeri-negeri lain (termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju) kaum perempuan mengalami berbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti perkosaan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula di negeri-negeri Dunia Ketiga. Selain itu mereka semakin menyadari sifat struktural dari penindasan itu sehingga sebagian dari mereka sekaligus menginginkan penghapusan patriarkhi dan pelenyapan neo-kolonialisme dan neo-liberalisme.

Pada titik inilah kemudian Hari Perempuan Internasional 8 Maret menjadi penting. Pada tahun 1960, oleh organisasi-organisasi yang menjadi anggota KOWANI diperkenalkan Hari Perempuan Internasional dan Deklarasi Kopenhagen yang keduanya merupakan hasil Konggres Perempuan Internasional 1910 di kota Kopenhagen, Denmark. Deklarasi ini menyerukan: " Bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional, dan perdamian". Pada waktu itu dalam tubuh KOWANI tidak tercapai kesepakatan ketika organisasi anggotanya mengusulkan agar Hari Perempuan Internasional diperingati disini. Meskipun demikian pada tahun itu di beberapa kota berlangsung perayaan Hari Perempuan Internasional.

Lintas Negara

Pada saat ini terjadi kemunduran perasaan internasionalis.Hari-hari internasional sangat jarang diperingati oleh penduduk Indonesia, apalagi secara resmi. Ini sedikit banyak berkaitan dengan kenyataan telah merosotnya kekuatan organisasi -organisasi masyarakat di satu pihak dan di lain pihak berhasilnya organisasi-organisasi masyarakat itu telah dikooptasi secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu tidak sedikit organisasi-organisasi masyarakat yang hanya berkutat ke dalam.

Kenyataan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia juga merupakan persoalan yang dihadapi oleh rakyat miskin di seluruh dunia menjadi terabaikan. Disamping itu oleh satu dan lain sebab, masalah internasional kini hanya menjadi urusan negara.

Pada tahap perkembangan perekonomian sekarang ini di dunia telah disatukan dalam suatu pasar besar di mana kaum perempuan dunia mau tidak mau terseret kedalamnya. Persolan seperti eksploitasi tenaga buruh perempuan dalam konteks pembagian kerja internasional baru, pengiriman pekerja migran perempuan, jaringan perdagangan perempuan, perusakan lingkungan dan berbagai persoalan yang melintas batas-batas suatu negeri.

Pada Hari Perempuan Internasional ini, maka kita memikirkan kembali hakikat dan jangkauan persoalan penindasan perempuan dan kembali menggenggam di tangan kita segala persoalan kita bersama.

Sumber: Kompas

No comments: